Syekh Ahmad Naeno, Mualaf Asal Jepang yang Begitu Takjub dengan Islam Indonesia
Perjumpaan sosok yang mempunyai nama asli Steve Naoki ini dengan Islam sungguh tidak terduga. Semua bermula ketika Naoki mendapat kesempatan pertukaran pelajar di Melbourne, Australia.
Pemuda yang ketika itu berusia 17 tahun itu tiba di Melbourne dengan perasaan yang ringan. Di bandara, ayah dan ibu angkat menyambutnya dengan ramah. Di luar dugaan Ahmad, keluarga tersebut merupakan pemeluk Islam.
Awalnya, ia mengira orang-orang kulit putih ini beragama Kristen, seperti umumnya penduduk Australia. Inilah kali pertama dirinya berinteraksi dan bahkan tinggal serumah dengan orang-orang Muslim. Mulai terbayangkan dalam benaknya perihal stereotipe pemeluk kepercayaan ini.
Berbagai pemberitaan yang pernah didengarnya cenderung memojokkan citra Islam. Agama tersebut acap kali disangkutpautkan dengan gerakan ekstremisme dan terorisme. Kesan negatif itu menimbulkan sebersit bayangan kecemasan pada dirinya.
Tidak mungkin Ahmad kembali lagi ke Jepang. Tidak ada pilihan kecuali mengikuti seluruh rangkaian program pertukaran pelajar ini hingga tuntas. Di luar perkiraannya, semua kekhawatiran itu sirna sudah. Sebab, perilaku dan sifat keluarga angkatnya begitu hangat nan bersahabat.
Mereka memperlakukannya dengan sangat santun dan murah hati. Kapan pun Ahmad memerlukan bantuan, kedua orang tua angkatnya selalu ada. Bahkan, tanpa diminta pun sering kali orang-orang Muslim tersebut menolongnya, bahkan untuk urusan sepele, semisal menyediakan kudapan (snack) kala dirinya belajar.
Bagi Ahmad, mereka adalah orang Islam yang sesungguhnya. Amat jauh karakteristiknya dari kesan-kesan ekstremis atau teroris. Dan, perlahan-lahan pandangannya yang semula skeptis terhadap Islam kian meredup dan hilang sama sekali.
Dari obrolan beberapa kali, Ahmad pun mengenal bahwa mereka berasal dari keturunan imigran. Leluhur ayah angkatnya itu adalah orang Mesir yang hijrah ke Australia beberapa dekade silam.
Karena latar belakang itulah, mereka selalu berprinsip bahwa tamu mesti dimuliakan, tidak pernah dianggap sebagai orang asing.
Mereka juga mengatakan, Islam mengajarkan adab terhadap tamu. Para nabi, termasuk Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW, memberikan contoh teladan terbaik dalam hal ini. Mendengar itu, Ahmad mulai mengagumi ajaran agama tauhid. Bagaimanapun, ia belum sampai tertarik untuk berislam. Ahmad ketika itu sekadar mengapresiasi tradisi orang-orang Muslim. Lebih dari itu, hatinya tersentuh oleh kebaikan para pemeluk Islam, sebagaimana yang ditunjukkan orang tua angkatnya selama di Australia.
Ketika durasi pertukaran pelajar usai, tibalah saatnya untuk kembali ke Jepang. Sebagai kado perpisahan, ayah angkatnya memberikan banyak pustaka, termasuk mushaf Alquran yang dilengkapi terjemahan berbahasa Inggris. Bacalah buku ini dan resapi maknanya, ujar Ahmad Maeno menirukan perkataan orang Australia tersebut, seperti dilansir Republika dari laman Youtube Towards Eternity, beberapa waktu lalu.
Remaja itu merasa senang dengan pemberian dari mereka. Sesampainya di Jepang, ia pun membaca buku-buku tersebut. Mushaf kitab suci itu juga ditelaahnya walaupun tidak sampai khatam.
Beberapa bulan kemudian, ia kembali lagi ke Australia untuk suatu urusan. Maka itu, Ahmad menyempatkan diri untuk menyambangi Melbourne. Keluarga angkatnya menyambutnya dengan hangat.
Ia sempat bermalam di rumah mereka. Sesudah makan malam, Ahmad mengobrol dengan seorang anak laki-laki mereka. Pemuda yang satu tahun lebih tua darinya itu menuturkan banyak hal tentang Islam.
Dijelaskannya pula mengenai kehebatan Alquran. "Banyak fakta saintifik yang sudah disebutkan Alquran 1.400 tahun lebih awal daripada para ilmuwan modern," ucap Ahmad menirukan perkataannya.
Ketika itu, Ahmad merasa agak jengkel. Sebab, dirinya seperti diceramahi oleh anak muda tersebut. Baginya, siapa pun tidak perlu dibujuk untuk memercayai suatu keyakinan.
Momen kesadaran
Setelah lulus dari SMA, Ahmad Maeno melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Untuk itu, ia mesti merantau ke luar kota tempatnya berasal. Selama di perantauan itulah, dirinya mulai sering melakukan kontemplasi.
Ahmad merenungi tentang tujuan kehidupan manusia. Semula, ia berharap dapat menemukan jawaban dari keyakinan agama leluhurnya. Namun, dari sana dirinya merasa tidak mendapatkan kemantapan hati.
Pada saat itulah Ahmad mulai membuka-buka lagi beberapa buku pemberian orang tua angkatnya. Pustaka itu menerangkan perihal ajaran Islam, termasuk yang menjelaskan tentang tujuan kehidupan manusia.
Dalam Alquran surah adz-Dzaariyat ayat 56, Allah berfirman, yang artinya, "Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." Cukup lama Ahmad memikirkan makna ayat tersebut. Karena belajar secara otodidak, ia kurang mendapatkan bimbingan mengenai tafsir firman Allah itu. Bagaimanapun, pintu hidayah terbuka untuknya melalui jalan lain.
Saat berada di perpustakaan kampus, dirinya mendapati sebuah buku tentang Malcolm X. Tokoh perjuang an emansipasi itu berasal dari Amerika Serikat (AS). Seluruh hidupnya didedikasikan untuk mengangkat derajat masyarakat bawah, khususnya dari kalangan etnis kulit gelap.
Ahmad membaca buku autobiografi mengenai sosok tersebut. Ia amat terkesan oleh perjalanan kehidupan Malcolm X. Ini adalah seorang tokoh yang semula dikenal sebagai berandal, lalu menjadi pejuang hak asasi manusia (HAM). Semua itu bermula sejak pahlawan Amerika Serikat itu memeluk Islam.
Salah satu adegan yang mengesankannya adalah ibadah haji. Dalam kesaksian Malcolm X, ritual tersebut sangat luar biasa. Jutaan orang berkumpul di satu titik yang sama. Mereka datang dari berbagai negeri.
Mereka terdiri atas beragam kelompok etnis. Di Masjidil Haram, setiap insan itu tampil setara dan apa adanya. Semuanya sama-sama merupakan hamba Allah SWT yang mengharapkan ridha-Nya.
Kemudian, Ahmad pun menyaksikan video tentang haji. Dan, memang, terasa betul kesan yang direkam Mal com X itu. Begitu banyak orang berkumpul. Mereka se mua berada di sana hanya untuk beribadah kepada Tuhan. Sungguh pemandangan yang menakjubkan, ucapnya.
Beberapa pekan sesudah itu, hati Ahmad kian mantap untuk memeluk Islam. Akhirnya, dalam usia 18 tahun dirinya menjadi seorang Muslim. Ikrar syahadat dilafalkannya dengan bimbingan seorang pemuka agama di sebuah masjid dekat kampusnya.
Sejak menjadi mukmin, ia pun memilih nama baru, yakni Ahmad. Itulah nama yang lebih suka dipakainya, alih-alih nama lamanya, Steve Naoki. Keputusannya untuk memeluk Islam bukan tanpa tantangan.
Tekanan terbesar datang dari ayah kandungnya. Bapaknya itu murka begitu mendengar kabar keislaman dirinya. Bahkan, Ahmad tidak sekadar dimarahi, tetapi juga tidak lagi dianggap anak.
Bagaimanapun, Ahmad terus dan selalu memandang ayahnya dengan penuh respek. Dengan sekuat tenaga, dirinya mengamalkan ajaran Islam mengenai adab seorang anak terhadap kedua orang tua. Selama sang ayah tidak memaksanya untuk murtad, ia menaatinya dengan hormat dan kasih sayang. Kini, Ahmad telah lebih dari 25 tahun berkecimpung di dunia dakwah. Sejak menjadi Muslim, dirinya banting setir dalam dunia akademik, yakni berfokus pada studi keislaman. Malahan, ia pernah meraih beasiswa untuk studi ke Damaskus (Suriah) dan Madinah (Arab Saudi).
Selama di Asia barat, Ahmad konsisten mempelajari berbagai ilmu agama. Akhirnya, ia memperoleh sanad sehingga dipandang layak untuk menjadi pendakwah. Begitu kembali ke tanah airnya, lelaki berkacamata itu mengisi. posisi sebagai imam masjid setempat.
Dalam kesibukannya melakukan syiar Islam di Negeri Sakura, penyuka genre musik nasyid itu beberapa kali diundang untuk mengisi agenda di berbagai negara. Pada 2018 lalu, Syekh Ahmad Maeno sempat menghadiri konferensi tarekat di Jawa Tengah.
Menurut dia, masyarakat Muslim Indonesia dapat menjadi contoh bagi umat Islam di berbagai belahan dunia. "Saya begitu takjub dengan kuatnya silaturahim orang-orang Indonesia,"
Belum ada Komentar untuk "Syekh Ahmad Naeno, Mualaf Asal Jepang yang Begitu Takjub dengan Islam Indonesia"
Posting Komentar